D'jomblo 1

Enjoy the momment

Rabu, 03 Desember 2008

Pentingkah pacaran SMA


Hubungan emosional atau relationship atau pacaran, banyak orang yang mendamba-dambakannya. Sejak kanak-kanak, kawula muda maupun kawula tua, terutama yang telah menjanda atau menduda. Sejak kanak-kanak? Yang benar saja, memang masih kanak-kanak sudah ingin pacaran? Bisa saja, berdasar pengalaman pribadi saya sendiri, sejak kelas dua SD di kelas sudah ada yang namanya ‘memasang-masangkan orang’, yang mana akrab sedikit dengan seorang lawan jenis sudah dibilang itu adalah pacarnya. Bahkan sebenarnya tidak akrab pun bisa disoraki oleh teman-temannya. -> pacar = teman akrab/yang dianggap akrab

Pada waktu kelas 4 SD, baru ada orang yang secara terang-terangan mengaku “menaksir” dan “mengincar” orang lain. Sesuatu yang menjadi semakin parah di kelas 5 dan 6 SD. Ketika beberapa anak mulai menonton film dewasa dan membicarakannya, serta ketika kata-kata dan humor jorok sering dilontarkan keluar. Saat itu mulai ada yang menggunakan kata-kata yang menggoda, semisal ketika ada yang mau meminjam sesuatu, lalu dibalas, “Cium pipiku dulu dong!”, ada lagi contoh lain, “Nanti sore aku mau ke rumahmu. Aku mau melamar kamu.” Rupanya cinta monyet telah muncul, tapi belum ada yang mengikrarkan diri telah ‘pacaran’.

SMP adalah masa puber, ketika laki-laki menjadi jangkung dan anak perempuan menjelma menjadi gadis muda. Ketika beberapa cowok mulai belajar merokok dan rajin beronani serta beberapa cewek menggosipkan cowok2 lain dan aktor2 keren. Beberapa cowok duduk2 di luar kelas dan menyuiti cewek yang lewat sambil berseru, “cewek… cewek…”. Bahkan ada cewek yang melakukan hal yang sama untuk menandingi cowok2. Dengar-dengar ada yang sudah pacaran, tapi saya tak pernah melihat orang yang benar2 pacaran di sekolah. Yang ada hanyalah sorak-sorai memasang-masangkan cowok dan cewek.

Menginjakkan kaki di SMA 1, engkau masih anak sekolah satu es-em-a, belum tepat waktu tuk begitu begini adalah pertama kalinya saya melihat cewek yang cukup agresif dalam menarik perhatian lawan jenis. Pertama kali pula melihat ada anak yang pacaran di sekolah. Tandanya: duduk berduaan saja pada jam istirahat di kelas, sementara yang lain keluar kelas; selalu berdua bila ke kantin, lorong, dll; selalu ke kelas sang pacar bila ada waktu luang; senantiasa mengintip pacar lewat jendela (bila terlihat dari jendela); selalu menjemput pacar bila bepergian; Saya tak melihat ada pergeseran pola hingga akhir SMA. -> pacaran = berduaan saja

Memasuki bangku kuliah, saya melihat lebih jelas orang yang nyata2 berpacaran, karena mereka saling bergandengan, berhadapan sangat dekat, berpelukan, bersandar di pelukan/pundak/pangkuan, bahkan dgn tak malu-malu berciuman bibir dengan bibir di depan umum. -> pacaran = bermesraan
Memang tak semua seperti itu. Ada yang tak bisa langsung terlihat, hanya terlihat bila dicermati lebih lanjut, spt dari sorot matanya dan cara bicaranya (jadi haluuus sekali).

Semua ini membuat timbulnya pertanyaan dalam diriku:
Apakah pacaran makin dewasa adalah makin intim secara fisik? (dilihat dari trend kecenderungannya)
Apakah dengan ‘dekat’ berarti pacaran? Tidak.
Apakah dengan berduaan saja itu pacaran? Kemungkinan besar iya.
Apakah dengan bermesraan itu pacaran? Semestinya iya, kecuali TTM.
Kenapa orang pacaran? Ingin dekatkah? Ingin ada tempat utk mencurahkan isi hati? Ingin bermesraan? Karena ada CINTA katanya.
Jika memang ada CINTA, kenapa mesti ada yang namanya “katakan cinta”, seakan dengan mengatakan cinta, cinta akan timbul sendiri di pihak lawan.

Prosesnya sering pula disebut “menembak”, seperti orang berburu hewan atau penjahat, dengan “cinta” adalah pelurunya, dan “katakan” adalah senapannya. Maka muncul pula tips-tips dan teknik-teknik supaya “penembakan” dapat berlangsung dengan mulus, “pihak lawan” bisa “menangkap” peluru dengan baik, tidak “menepis” begitu saja. Sehingga lampu di kepala pun berganti, dari ‘jalan terus’ alias “hijau”, menjadi ’stop’ alias “merah”. Maksudnya sebagai peringatan bahwa di dalamnya telah dipagari dan diikat dari bahaya yang mengancam dari luar. Biasanya bila pelurunya ternyata ditangkis seperti di permainan bulu tangkis, maka pelor itu jadi seperti mengarah diri sendiri dan ‘mematikan’ yang memegang ’senapan’. Senjata makan tuan.

Ada orang yang bilang kalau sekolah adalah ajang yang paling tepat untuk mencari jodoh, atau yang sering disebut ’soulmate’. Sebuah tempat berkumpulnya teman-teman sepantaran, sejenis maupun lawan jenis. Ada lagu yang mengatakan -tiada masa paling indah, masa-masa di sekolah. Tiada kisah paling indah, kisah kasih di sekolah.- Beberapa orang tua memahami hal ini, maka mereka memasukkan anaknya di sekolah kelas atas dengan harapan mendapat menantu dari kalangan orang kaya. Maka tak heran rela menghabiskan uang banyak untuk uang pangkal, meski sebenarnya tidak mampu. Kalau sang anak disekolahkan di US/UK/Aussie, bila mereka mendapat jodoh di sana (maksud saya orang Indonesia di sana), tak mungkin jodohnya adalah orang miskin, mengingat biaya hidup di sana yang mahal. Kecuali bila mendapat beasiswa penuh, orang miskin pun bisa bersekolah di sana. Beberapa orang tua bahkan mendorong anaknya untuk mencari jodoh selagi masih bersekolah. Apalagi anak cewek, sehingga setelah lulus dari kuliah bisa langsung menikah.

Pentingkah mengucapkan “I love you”? Perlukah “menembak”?
Saya sendiri beranggapan bahwa pacaran tak seharusnya dimulai dengan “menembak”. Saya rasa kalau memang ada CINTA, maka seharusnya yang ada adalah ikrar akan saling berhadapan satu sama lain, menggandeng tangan menuju hari depan. Hal semacam ini akan muncul dgn tak tertahankan lagi. Kalaupun prosesnya mirip dengan “menembak”, saya merasa istilah itu sendiri kurang baik. “Menembak” kesannya seperti “menodong”, atau seperti ‘eksekusi akhir dari sebuah pengintaian’. Lebih baik bila mengungkapkan isi/perasaan hati, bisa dengan “I love you”, atau dengan kata2 yang lain. Mengenai pentingkah itu? Saya kira bila pihak yang diincar dirasa tidak tahu apa yang ada di hati, ya perlu. Tapi tidak mutlak, tergantung keadaan juga.

Ada pula pertanyaan yang muncul dari diri saya, benarkah kalau tampangnya cakep, maka cocok jadi pacar? Sering saya mendengar orang bilang, “Wah, si ini tampangnya kurang, masih ok si itu. Mending sama si itu”, “di kelas ini gak ada yang cakep sama sekali” Padahal kalau saya lihat ada yang wajahnya gak jelek juga. Dan ternyata ketika orang tadi punya pacar, setelah kulihat ternyata tampang pacarnya juga biasa saja, dari segi manapun juga tidak istimewa. Kadang ada juga yang menyeletuk sambil terkekeh, “Si ini sebenarnya tampangnya ok juga ya. hehehe..” Lalu kawannya menimpali, “Ayo, cepat confess ke dia, sebelum dia pergi. Sem depan dia bakal exchange loh.” Seakan dengan mengatakan dia cakep, berarti sudah jatuh cinta. Saya sendiri berpandangan bahwa tampang cakep tak berhubungan dengan jatuh cinta. Ada hal yang lebih dari itu yang tak bisa diketahui hanya dengan sekali pandangan mata saja.

Sebuah ringkasan dari pengamatan saya, pacaran awalnya dianggap sesuatu yang asoi. Sesuatu yang dianggap bahan pembicaraan paling menarik. Dengan sorakan- sorakan yang gencar dan membahana. Lama-lama seiring dengan pertambahan usia jadi didiamkan saja. Tak banyak komentar yang muncul. Dan lalu menjadi sebuah kecemasan apabila masih belum ada gandengan padahal sudah cukup berumur. Bila ada seorang teman lagi yang melepaskan kelajangan, tak lagi ada sorak-sorai di hati, tapi seakan ada bunyi alarm keras2 yang mengingatkan bahwa diri sendiri belum ada pasangan. Setiap perayaan ultah menjadi seperti dentang lonceng pengingat bahwa waktu telah menyempit, sebuah hitungan mundur yang menggelisahkan. Pertanda masa ranum perlahan menapak pergi.

Bagaimana dengan pendapat Anda sendiri?

                                                                                                                                     By.Hario


Share/Bookmark

0 comments:

Posting Komentar

Sponsor

DonkeyMails.com: No Minimum Payout

ads

http://www.emailcashpro.com
 

Mau punya buku tamu seperti ini?
Klik di sini (Info Blog)